by Aajin Sangmusafir on Wednesday, 22 September 2010 at 21:17
Tahun ini adalah tahun yang membingungkan buatku. Baru di tahun ini rasanya aku merasa musim kemarau datang hanya sesaat. Bahkan bulan Agustus yang biasanya terik menyengat, malah menjadi dingin menusuk. Apa lagi kami tinggal di kota dimana hujan turun dengan melimpah.
Setiap kali hujan, biasanya manusia cenderung ogah, mengkerut dan moody. Begitu pula dengan saya saat ini. Malam menjelang, namun hujan gerimis yang mengguyur bumi dari tadi sore masih tampak jumawa, enggan berhenti. Dan tiap kali hujan gerimis turun, aku merasakan kesenduan, keheningan dan kehilangan. Kehilangan akan seseorang yang begitu bermakna. Kehilangan yang tidak akan mampu ditebus lagi. Kehilangan akan seseorang yang begitu dirindukan. Ia bukan pacar. Ia bukan saudara atau kerabat. Ia hanya seorang yang datang sesaat dalam kehidupanku, dan menyapaku dalam caranya yang lugu, khas dan sederhana, namun dampaknya bagaikan hantaman puting beliung dalam kepalaku. Ia hanya seorang laki-laki tua sederhana.
Beginilah ceritanya:
Sekitar dua puluhan tahun lalu, ketika aku masih muda, aku senang bepergian sendiri sebagai backpacker ke kota-kota sebelah timur, seperti Jogja, Magelang, Semarang, Kediri, Malang, Surabaya, Bali, bahkan sampai Papua. Berbekal uang seadanya dan saxophone untuk mengamen aku terbiasa pergi dari rumah sampai 2 bulan lebih. Karena cara mengamenku yang agak elite, mudah bagiku untuk mendapatkan uang ala kadarnya untuk melanjutkan perjalanan atau balik ke Jakarta. Itu aku lakukan sebelum kuliah dan selama liburan semester.
Suatu waktu kakiku menyeret tubuh dan sukmaku di jalanan kota kecil Magelang. Saat itu malam hari dan hujan gerimis turun. Losmen yang aku tuju masih sekitar 500 meter lagi. Dan perut sudah keroncongan. Di jajaran sebelah kiri aku lihat hanya ada sebuah warung angkringan. Sepi pula. Sop Buntut dan Kaki Sapi Simbah. Demikian nama warung itu. Siapa nama Simbah atau si Mbah itu, tidak dituliskan. Namun aku berasumsi Si Mbah ini pasti sudah terkenal, jadi tidak perlu menuliskan lagi namanya.
Sesuai dengan nama warungnya, si pemilik memang sudah tua, kira-kira pertengahan awal 60an. Dengan sigap ia melayani pesananku. Tangannya yang ringkih dan keriput menciduk kuah sop di kuali. Sekalipun sendok sayur yang ia gunakan tidaklah panjang, tidak proporsional di bandingkan besarnya kuali kuah itu, tangannya tidak perlu merogoh sampai ke dasar. Terlihat jelas dari cara ia menciduk air kuah bahwa barang dagangannya masih banyak. Padahal ini sudah pukul 10 malam. Hujan gerimis dari tadi sore memang nampaknya tidak memberi ampun buat para pedagang angkringan ini.
Wajah pak tua ini kelihatan tegar. Ia tampak santai tapi serius dengan sesuatu yang ada di kepalanya. Aku perhatikan sesekali bibirnya bergumam dan mengucapkan sesuatu yang tidak aku pahami.
“Silahkan mas dimakan,” sambil menyodorkan pesananku di meja.
“Trima kasih, pak,” aku jawab. Tanpa banyak menunggu langsung aku lahap sop kaki sapi ini.
Ia kembali ke tempat duduknya dan bibirnya terus mengucapkan sesuatu.
Aku jadi tertarik ingin berbincang2 dengannya.
“Pak. Kalau boleh, kenapa bapak tidak duduk di sini saja? Khan gak ada orang lagi, cuma berdua. Dari pada anteng sendiri-sendiri mendingan kita ngobrol,” undangku.
“Wah, nanti Simbah merepotkan, mas.”
“Apa yang direpotkan tokh pak?” tanyaku sampai meninggikan alis mataku, mengundangnya sekali lagi.
Ia pun akhirnya duduk di depanku.
“Mas bukan dari orang kota ini,ya? Simbah rasanya baru lihat.”
“Saya dari Jakarta, Mbah,” sekarang aku memberanikan diri menyebutnya mbah, sebagaimana ia menyebut dirinya.
“Sedang liburan mas?”
“Tidak Mbah, saya tukang ngamen. Cari duit dan pengalaman di sela-sela kuliah. Saya bawa alat tiup. Cuman malam ini saya lagi malas karena hujan,” sambil aku menunjukan hard case saxophoneku.
“Bagus sekali, mas. Jarang sekali si Mbah lihat pengamen pake saxophone.”
Lha kapan aku bilang saxophone, koq dia sudah tahu itu saxophone? Mungkin si mbah itu bukan orang udik. Mungkin di masa mudanya dia sering berdansa waltz atau cha-cha.
“Mbah sendirian berdagangnya?”
“Enggak mas, simbah ditemani istri, dan seorang laden, tapi sekarang istri saya suruh pulang dan laden sedang ada perlu dulu. Nanti sebentar lagi dia datang.”
“Malam ini hujan terus ya Mbah. Orang pada males keluar rumah.”
“Ya begitulah, mas. Daganganpun belum banyak laku. Tapi hidupkan harus tetap tabah dijalani. Sabar lan mantep aja mas.” Suaranya agak mendesah, namun tidak terkesan memelas.
“Mbah, dari tadi saya perhatikan mbah seperti sedang wiridan. Membaca asma Allah yah?” tanyaku penuh selidik.
“hahahhaha enggak mas. Mmm maksud simbah itu bukan wiridan seperti yang mas pikirkan. Koq si mas perhatian banget sih?”
“Apaan dong mbah? Kalau boleh saya tahu. Saya pikir tadi si mbah wiridan supaya minta Allah hentikan hujan atau supaya orang banyak beli hehhe.”
“Si mbah menjapa Nammo Amitabha, mas,” jawabnya agak malu.
Ternyata si Mbah ini bukan muslim, tapi seorang buddhis. Oh bodohnya aku. Ini kan Jawa Tengah bukan Kampung Makassar di Jakarta. Dan aku berada di Magelang. Tentu saja ada banyak pemeluk Buddha di kota ini.
“Oh jadi si Mbah agamanya Buddha yah? Saya kira tadi si Mbah memanggil azma Allah.”
“Ah mas, kalo masalah agama, si Mbah ini orang bodoh, jadi gak tahu apa-apa. Maklum orang kampung. Apakah si mbah ini orang Buddha? Simbah sendiri jarang ke vihara. Nanti kalau Simbah ini ngaku-ngaku orang Buddha malah mempermalukan orang-orang vihara.”
Nampaknya si pak tua ini menyembunyikan sesuatu dalam jawaban yang terkesan ditutup-tutupinya itu.
“Jadi kalau mbah memanggil-manggil Amitabha, itu gunanya untuk apa Mbah? Bukannya meminta hujan berhenti atau pembeli banyak berdatangan?” godaku. Ada sedikit rasa merendahkan dalam pertanyaanku.
Dari kecil sampai pradewasa aku dididik dalam islam militan. Guru-guru mengajiku mengajarkanku bahwa hanya islam agama yang diridhoi oleh Allah ta’ala. Agama lain sudah sesat dan palsu. Kitabnya dirubah-rubah sekehendak udel sendiri. Orang Kristen menuhankan manusia, tuhanya ada tiga, tuhan bapa, tuhan ibu dan tuhan anak. Orang Buddha dan Hindu memuja-muja patung yang mereka pahat sendiri. Pokoknya hanya ajaran islam yang luhur, murni, terakhir dan sempurna.
Waktu aku SMP aku dibawa saudara ke tanggerang melihat-lihat vihara dekat rumahnya. Banyak orang keturunan cina yang membawa buah-buahan ke depan patung. Wah bodoh sekali mereka patung koq dikasih makan buah-buahan. Tapi saudaraku yang lebih tua segera menukas, “Setidaknya tuhan mereka tidak meminta persembahan mahluk bernyawa,” katanya. Aku terlalu kecil untuk memahami makna kalimatnya. Orang-orang cina itu cuman pemuja Buddha dan Kong hucu yang tung-tung cep, alias orang2 yang muja-muji dewa dewi tunggak-tunggik kemudian nancepin hio cuman untuk minta diberkati secara material. Itulah apriori yang ada dibenakku selama ini.
“Mas, Simbah ini orang bodo, udik, dan tua, gak ngerti ajaran-ajaran Buddha dan agama. Jadi kalau si mas mau tanya ini itu, si mbah ga bisa jawab. Berapa kilo meter dari sini ada vihara mendut, mas bisa tanya tentang ajaran Buddha sama wiku-wiku di sana (orang tua ini masih menyebut biksu dengan panggilan wiku).
Tapi mas, buat Simbah, agama bukan masalah ajaran, tapi masalah laku hidup, masalah roso dan eling.
Kalau Simbah menjapa ‘nammo Amitabha’, yang artinya terpujilah Amitabha, bukan berarti memanggil-manggil dewa dari alam lain buat membantu si Mbah, tapi membuat si mbah ini selalu eling, sadar akan setiap laku, dan roso dalam sukma si mbah.
Apakah dengan Simbah memanggil Namo Amitabha, Amitabha akan datang menghentikan hujan dan mendorong para pembeli berbondong-bondong ke warung sini? tentu tidak. Sama sekali tidak terpikir demikian dalam benak si mbah. Berdagang itu ada kalanya laku, ada kalanya tidak. Itu sudah biasa mas. Hari itu ada kalanya terik ada kalanya mendung, itu sudah fitrah alam mas. Buat apa membawa-bawa nama yang suci hanya untuk kepentingan pribadi kita yang dangkal dan sempit? Hujan ini datang karena suatu sebab, dan akan berakhir karena suatu sebab. Biarkan saja terjadi atas dasar siklus alam.
Menurut umat Buddha, Buddha Amitabha itu tinggal di sebuah alam surga penuh sukacita yang bernama Sukhowati. Mereka yang memanggil-manggil namanya ketika meninggal akan dibawa ke alam itu untuk belajar menjadi seorang Buddha. Itu kata umat Buddha, tapi buat si Mbah gak percaya.”
“Lha kalau si Mbah gak percaya kenapa masih memanggil-manggilnya?” sergahku keheranan.
“Semua itu cuman cerita mas. Amitabha itu sebenarnya kita sendiri. Surga Sukhowati itu adalah tubuh kita sendiri. Ketika si mbah menjapa Nammo Amitabha, bukan berarti si mbah memanggil suatu dewa atau mahluk ilahi untuk datang mewujud di hadapan saya, sama seperti kita yang duduk berhadap-hadapan seperti ini.
Memanggil Amitabha berarti membangunkan roso, eling dan laku lampah yang mulia dalam diri kita, sehingga tubuh ini bukan untuk diri sendiri tapi untuk menjadi alat kebaikan bagi sesama, mas.
Menjapa namo Amitabha berarti menghadirkan ingatan dan kesadaran akan berartinya hidup ini dan menggugah pikiran ini untuk menjadikan kehidupan nyata kita sebagai surga sukhowati, suatu tempat agar semua mahluk mendapatkan kesempatan hidup yang layak dan jauh dari permusuhan dan kebencian.
Apa benar surga sukhowati itu ada dan kita masuki ketika si mbah nanti mati? Si mbah juga ga tau. Yang si mbah tahu itu cuma cerita. Agama itu cuman metoda, mas, bukan tujuan. Gusti Allah itu bukan seseorang yang duduk di suatu surga atau suatu zat tertentu, tapi suatu idea mulia. Menyembah gusti Allah itu artinya membangunkan diri ini agar tetap eling dan menerima hidup apa adanya dan mengusahakan yang terbaik darinya. Bukan memuja-muji suatu pribadi lain di luar diri.
Dulu waktu muda, si mbah orang yang suka memberontak dan berpikir bebas. Si mbah mempelajari ajaran-ajaran Tan Malaka, Karl Marx dan Lenin. Dan semua ini membikin si mbah analitis, gak mudah percaya dengan cerita-cerita tentang surga dan neraka. Tapi justru dengan itu si Mbah bisa dengan mudah melihat arti rohani di balik kisah-kisah indah dan menawan itu.
Diri inilah Amitabha itu. Diri inilah Avalokitesvara yang sedang berkarya di bumi. Diri inilah Buddha. Siapa yang memahami diri yang sesungguhnya ialah yang telah sadar, yang eling, yang roso nya melimpah dengan ketenangan dan kelembutan. Entah itu para wiku, ulama, pedande ataupun umat awam semua adalah sama, calon-calon sang Buddha, sang eling dalam diri ini.
Begitulah Mas, apa yang bisa si Mbah ceritakan.”
Aku tergagap-gagap mencoba memahami apa yang diulasnya. Aku tak pernah mendengar hal serupa dari guru ngaji, ulama dan da’i. Ironis sekali, justru dari seorang penjual angkringan seperti si mbah ini aku mendapatkan pelajaran berharga, sekalipun apa yang ia ajarkan harus memakan waktu bertahun-tahun agar tembok kekeraskepalaan ini bisa ditumbangkan. Namun apa yang ia ajarkan bagaikan api kecil yang membakar sumbu dalam otakku. Kelak sumbu ini akan mengantarkan si api kepada bensin yang siap dibakar.
Melihat aku yang tertegun kebingungan, si mbah berkata:
“Para agamawan, mas, seperti para penjaja yang berjualan air segar di pinggiran sungai yang jernih. Banyak dari mereka tidak rela para pembelinya menyadari bahwa air jualan itu di ambil dari sungai jernih di belakang kios mereka. Untuk itu mereka membangun kios bederet-deret panjang dan tinggi menjulang, agar para pembeli tidak menyadari kehadiran air sungai segar dan jernih di belakangnya.”
Gila. Gila. Orang tua ini seakan-akan mampu membaca isi kepalaku dan memotong jalur kebingungan dalam otakku. Aku terdiam membatu. Mau didebat gimana, dia memang benar, mau di amini gimana, aku masih terlalu kukuh dengan kecetekan cara berpikir islamku ini.
“Mas, hujannya sudah berhenti “ sapa si Mbah membangunkan lamunanku.
Waduh. Aku baru ingat. Penjaga losmen tadi pagi bilang kalau losmen akan ditutup jam 11 malam demi keamanan. Segera aku membayar jajananku dan mengucapkan beribu-ribu trimakasih kepada si Mbah telah meluangkan waktu mengobrol dan mengajariku. Aku katakan bahwa aku akan kembali ke Jakarta besok siang, tapi kalau ada waktu, aku akan kembali ke Magelang dan bersua lagi dengan si Mbah. Pak tua ini hanya tertawa renyah dan menepuk-nepuk pundakku.
“Hati-hati di jalan, Mas.”
Pemahamanku Saat Ini
Perlu bertahun-tahun bagiku untuk mengendapkan perkataan si Mbah itu ke dalam relung hatiku. Memang begitu sukar tembok fanatisme dan neurosis agama lahiriah ini untuk ditembus. Namun pengalaman itu menjadi momen pemicu dalam diriku untuk mempelajari agama dan kebatinan lewat beragam penelaahan filsafat, psikologi, budaya, dan kebatinan.
Dan pencarian ini mengantarkanku pada statement bahwa apa yang si Mbah itu cocok bagiku. Menurut telaah studi yang kulakukan secara otodidak tentang kebathinan dalam agama Buddha, aku temui bahwa Buddha Amitabha tertulis dalam kitab Amitayus Sutra. Sangat memungkinkan bahwa kitab ini ditulis oleh seorang filsuf dan Yogi Nagarjuna, kira-kira 500 tahun setelah Gautama wafat.
Dalam Samadhi yang mendalam Nagarjuna “melihat” (tolong perhatikan makna tanda petik itu) Gautama sedang mengajar murid-muridnya. Gautama menceritakan tentang adanya seorang Buddha yang bernama Amita / Amida Buddha. Buddha ini tadinya adalah seorang raja yang dipuncak kejayaannya ia malah memutuskan untuk menempuh jalan kesucian. Ketika ia mencapai kesadaran tertinggi atau manunggal dengan semesta ia digelari Amida Buddha. Amida berarti cahaya tanpa batas. Buddha berarti kesadaran, atau yang sadar. Buddha Amitabha berarti cahaya kesadaran tanpa batas. Yang berarti personifikasi dari sang ilahi itu sendiri, samudra kesadaran tanpa batas.
Dalam misinya mencerahkan umat manusia, Buddha Amitabha dibantu oleh dua orang boddhisatwa yaitu Boddhisatwa Avalokitesvara, yang bagi orang Cina di sebut Dewi Kuan Im, dan Boddhisatva Maha Stamaprapta. Avalokitesvara adalah personifikasi dari sifat kelembutan, cinta kasih, kemaharahiman, dan pengayoman alam semesta, sedangkan Maha Stamaprapta adalah personifikasi dari Kebijaksanaan.
Bagi orang yang mata bathinnya tajam, tentu saja semua ini sudah jelas, bahwa sebenarnya Amitabha Buddha itu adalah alegori perjalanan spiritual Buddha Gautama itu sendiri, yang mendesak dan mengundang si pembaca untuk menyikapi hidup ini dengan tujuan-tujuan mulia, bukan sekedar hidup dan akhirnya mati dan berharap masuk surga.
Baik itu Amitabha, Avalokitesvara dan Maha Stamaprapta adalah aspek2 mulia dalam diri kita sendiri. Amitabha mencerminkan aspek kerinduan akan kesempurnaan, Avalokitesvara mencerminkan cinta kasih, dan Maha Stamaprapta mencerminkan kebijaksanaan. Bukankah ketiga sifat ini; kerinduan akan kesempurnaan (summum bonum), Kebijasanaan (sofia), dan Cinta Kasih (agape) adalah sifat mendasar yang mewarnai mereka penempuh jalan mistik atau kebathinan?
Nagarjuna menuliskan Amitayus sutra sebagai upaya revolusioner, karena pada saat itu para biksu dari Aliran Selatan dinilai telah menjadikan jalan kebikuan sebagai pelarian kekanak-kanakan, childish escapism, dari kesumpekan hidup. Ajaran Buddha menjadi begitu dogmatis dan hanya bertumpu pada tafsir-tafsir elitis biksu saja. Sementara umat awam hanya memahami ajaran Gautama dari luarnya saja, para biksu malah disibukan dengan perbantahan dogma abstrak, winaya dan perselisihan antar sekte. Mereka sibuk dengan “nirwananya” sendiri. Adalah Nagarjuna, seorang yogi dan filsuf besar, bersama par biksu dan yogi dari utara lainnya yang membidani Aliran Utara yg nantinya disebut Mahayana, kendaraan besar. Kenapa disebut kendaraan besar? karena kesucian dan kebuddhaan bukan hanya dicapai oleh sekelompok petapa berkepala pelontos saja (calon arahat), namun oleh semua orang, pria dan wanita umat awam yang membaktikan hidupnya dalam praksis kehidupan sehari-hari (jalan kebodhisatwaan).
Diri inilah Amitabha, diri inilah Avalokitesvara, dan diri inilah Buddha, yang telah eling dalam roso yang mendalam. Itulah kata si Mbah.
Dua tahun setelah kejadian itu, ketika aku mulai memahami lebih dalam perkataan si Mbah, aku kembali menapaki jalanan kota Magelang. Aku mencari kedai angkringannya. Namun sia-sia. Tempat angkringan itu telah berganti penghuni. Si penjual baru mengatakan bahwa si Mbah telah meninggal setahun sebelumnya. Dia sendiri tidak begitu kenal dengannya dan tidak tahu dimana pusara beliau. Mengalir air mata ini. Bersama dengan menangisnya langit malam Magelang saat itu.
Satu sesal yang tak kunjung berakhir dalam diri ini, kenapa aku tak sempat bertanya nama si Mbah. Nama panggilan apakah yang cocok untuk aku sematkan padanya? Mbah Buddha? Mbah Amitabha? Rasanya tidak cocok. Mungkin yang cocok si Mbah Atheis Pietis- Sang Atheis yang Saleh.
*****
“Sopnya sudah siap, pah. Cepet dimakan mumpung lagi panas. Dari tadi koq papah cuman menatapi jendela melihat hujan saja”
Aku terbangunkan dari lamunanku oleh suara merdu istriku. Sambil menyodorkan sop buntut. Loh koq seperti kebetulan. Hujan deras, malam yang dingin dan semangkuk sop buntut panas plus nasinya.
Tanpa sadar aku bergumam, “Amitabha. Amitabha”
“Ihhhh papah bicara apa sihhhhh?” seru istriku yang keheranan.
“Oh tidak…tidak…… itu artinya mensyukuri hidup dan kesempatan hidup yang indah ini yang memperkenalkanku pada hidup yang mulia bersama seorang istri cantik yang setia.” Kataku mencari-cari alasan. Habis mau jelasin panjang lebar gimana?
“Ahhhh papah ini ada-ada saja.” Katanya.
“Ayo kita makan bersama di meja makan saja Mah, jangan di ruang kantor.”
Istriku tersenyum, mencoba menebak-nebak apa yang dari tadi ada dalam benakku ini.