free counters

Wednesday, June 1, 2011

Makna Perayaan Twan Yang - Festival Peh Cun


TWAN YANG : SEBUAH TINJAUAN ASTRONOMIS

Secara harafiah, Twan berarti ‘tegak’ dan Yang berarti ‘matahari’. Diyakini bahwa pada saat Twan Yang – yang diperingati setiap tanggal 5 bulan 5 menurut penanggalan Khongcu/Kongzi (Khongculek/Yin Li) - matahari tepat tegak lurus di tempat kelahiran agama Ru, Ji atau agama Khonghucu, yang kini kita kenal sebagai wilayah daratan Tiongkok. Benarkah pada saat Twan Yang matahari tegak lurus dan berada paling dekat dengan permukaan bumi ? Mari kita buktikan bersama.


Kita ketahui bahwa bumi berotasi – atau berputar pada sumbunya – setiap saat. Ini yang menyebabkan terjadinya siang dan malam, pagi dan sore. Arah rotasi bumi adalah dari Barat ke Timur, dan itulah sebabnya mengapa matahari terlihat terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Waktu rotasi bumi sekitar 24 jam, atau tepatnya 23 jam, 56 menit, 4,09 detik. Inilah yang kemudian dinamakan 1 hari.



Di samping berotasi, bumi juga berevolusi atau beredar mengelilingi matahari. Waktu edar bumi mengelilingi matahari sekitar 365 hari, atau tepatnya 365 hari, 6 jam, 9 menit, 9,54 detik. Inilah yang dinamakan 1 tahun. Akibat kemiringan sumbu gasing bumi sebesar 23,5o terhadap bidang edar bumi, maka ‘letak’ matahari dalam satu tahun bergeser-geser dari Garis Khatulistiwa 0o pada tanggal 21 Maret, kemudian bergerak ke Utara sampai 23,5o Lintang Utara pada tanggal 21 Juni, kembali ke Selatan dan tepat berada di atas Garis Khatulistiwa pada tanggal 23 September, dan selanjutnya bergerak ke Selatan sampai pada 23,5o Lintang Selatan pada tanggal 22 Desember. Sampai di sini, ‘letak’ matahari kembali akan bergeser ke Utara sesuai dengan siklus sebelumnya.


Penanggalan Khongcu/Kongzi, sebenarnya menggunakan sistem Yin-Yang, atau lunisolar. Perhitungan bulannya mengikuti sistem lunar atau bulan atau Im-lek, sedangkan perhitungan tahunnya disesuaikan dengan sistem solar atau matahari atau Yang-lek. Itu sebabnya mengapa penanggalan Khongcu/Kongzi di samping cocok digunakan untuk menghitung kapan saat jatuh bulan baru (air surut) dan kapan jatuh bulan purnama (air pasang), juga cocok untuk menghitung pergantian musim.


Mengingat masa edar bulan mengelilingi bumi sekitar 29,5 hari, maka jumlah hari per tahun menurut sistem lunar sekitar 354 hari. Di sini berarti terjadi selisih sekitar 11 hari dalam setahun dibanding dengan sistem solar. Selisih inilah yang kemudian dikoreksi dengan menambahkan atau menyisipkan bulan tertentu - atau dikenal sebagai Lun - sebanyak 7 kali dalam waktu 19 tahun. Pada saat terjadi Lun, maka jumlah bulan dalam setahun menjadi 13, dimana terjadi penambahan bulan yang disisipkan di bulan ke-empat. Akibatnya bulan ke-empat (sie gwee/si yue) terjadi dua kali.


Di depan telah dijelaskan bahwa perhitungan bulan pada penanggalan Khongcu menggunakan sistem lunar. Di sini berarti perhitungan awal bulan dihitung sejak tibanya bulan baru. Itulah sebabnya penentuan jatuhnya awal tahun baru, yang seharusnya tepat pada tanggal 5 Februari atau bertepatan dengan jatuhnya musim semi menurut kalender matahari, bergeser ke depan dan belakang sekitar 15 hari. Ini adalah konsekuensi penggunaan sistem penanggalan lunar. Ini pula sebabnya mengapa awal Sincia bergeser-geser antara 21 Januari sampai 19 Februari.


Pada bagian awal tulisan ini disebutkan bahwa pada saat Twan Yang, matahari tepat tegak lurus dan paling dekat dengan permukaan bumi. Mengingat apa yang kini kita kenal sebagai daratan Tiongkok sebagian besar wilayahnya berada di belahan bumi Utara dan di atas 23,5o Lintang Utara, maka menjadi logis bila antara tanggal 21 Maret sampai 21 Juni letak matahari menjadi mendekat ke Utara atau khususnya lebih dekat dengan wilayah daratan Tiongkok.


Bila tidak terjadi Lun, maka jumlah hari dari tanggal 1 bulan 1 berdasarkan sistem Khongculek adalah 29 + 30 + 29 + 29 + 5 = 122 hari. Bila awal tahun baru Khongculek jatuh pada batas akhir 19 Februari, maka saat Twan Yang akan jatuh pada 122 hari sesudahnya, atau tepat pada tanggal 21 Juni. Pada tanggal ini, matahari tepat di 23,5o Lintang Utara, atau berada pada titik paling dekat dengan daratan Tiongkok, yang merupakan tanah kelahiran agama Khonghucu. Bila Sincia terjadi paling awal, misal pada tanggal 21 Januari, tetap saja Twan Yang terjadi ketika matahari sudah dekat atau berada di belahan bumi Utara. Ini berarti di belahan bumi bagian Utara sedang mengalami puncak musim panas.


Dari paparan di atas, maka menjadi jelas bahwa pada satu ketika, saat Twan Yang tepat berbarengan dengan 21 Juni atau titik terdekat matahari dengan permukaan bumi di belahan Utara. Menjadi jelas mengapa pada saat itu agama Khonghucu yang senantiasa menginginkan terjadinya Keharmonisan Agung dalam hubungan antar manusia, alam semesta, dan Tian, memandang perlu untuk merayakan kejadian alam yang sangat penting tersebut dalam satu perayaan suci keagamaan.


Kalau kita kaji secara cermat, banyak perayaan suci keagamaan Khonghucu yang dikaitkan dengan terjadinya peristiwa penting alam semesta. Sebagai contoh adalah perayaan Sincia atau awal Tahun Baru Khongculek, yang didasarkan pada perhitungan astronomis. Demikian juga perayaan Tangcik, yang dilakukan tepat di kala matahari berada di titik paling Selatan. Contoh lain sangatlah banyak, di antaranya perayaan Cap Go Meh, yang dilakukaan tepat pada saat terjadinya bulan purnama pertama menurut sistem penanggalan Khongcu.


Dari contoh di atas maka menjadi jelas bahwa apa yang diimpikan oleh agama Khonghucu tentang pentingnya hidup harmonis, benar-benar mendapatkan penekanan penting, seperti tercermin dari banyaknya hari suci keagamaan yang tidak saja berhubungan dengan aspek kemanusiaan dan ke-Tuhan-an, melainkan juga berkaitan erat dengan fenomena alam semesta, yang dihitung secara cermat dengan menggunakan kaidah keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan.



MENGAPA TWAN YANG DIPERINGATI ?


Seperti dijelaskan di muka, pada saat Twan Yang matahari berada pada titik yang terdekat dengan permukaan bumi di belahan Utara. Pada saat itu curahan sinar matahari sedang mencapai puncaknya. Pancaran cahaya besar yang berasal dari matahari itu, membuat segala makhluk yang hidup di belahan Utara mendapatkan limpahan energi kehidupan yang demikian besar. Segala makhluk di bumi bagian Utara mendapatkan energi yang melimpah untuk melakukan aktivitasnya. Pada saat itu juga diyakini bahwa Tian telah memberikan karunia-Nya yang demikian besar kepada umat manusia. Inilah yang kemudian direspon dalam wujud pernyataan syukur kepada Tian, dan kemudian diperingati sebagai salah satu hari suci keagamaan Khonghucu, yang kini dikenal sebagai perayaan Twan Yang.


Perayaan Twan Yang sendiri sudah terjadi ribuan tahun jauh sebelum kelahiran Nabi Agung Khongcu (Kongzi) . Ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat umur agama Khonghucu sendiri memang lebih tua ribuan tahun dibanding Nabi Khongcu (Kongzi) . Namun meski telah berumur ribuan tahun, peringatan Twan Yang tidak lekang atau pudar dimakan jaman, namun sebaliknya bahkan mengalami pendalaman dan pengkayaan makna dari jaman ke jaman, dari tahun ke tahun.


Semula perayaan Twan Yang lebih berat makna agamisnya, dalam arti lebih berat ke aspek spiritualitas, baik yang menyangkut hubungan langsung dengan Tian, maupun dengan fenomena alam yang diatur oleh Tian, Sang Maha Pengatur. Di masa ini umat Khonghucu diwajibkan untuk memperdalam rasa syukur atas kemurahan Tian, dan di sisi lain diwajibkan mempertinggi komitmen pribadi untuk hidup selaras dengan Firman Tian dan bersahabat dengan alam. Pada sisi ini, makna Twan Yang lebih berat ke arah pribadi sebagai umat beragama.


Belakangan, perayaan Twan Yang diperkaya dengan makna moralitas, terutama moralitas sebagai warga bangsa. Awal ceritanya terjadi pada jaman Cian Kok atau peperangan antar negara, sekitar 403-221 sM. Pada jaman ini di daratan yang kini kita kenal sebagai Tiongkok, terdapat 7 (tujuh) negara besar, yaitu : Cho, Cee, Yan, Thio, Han, Gwi dan Chien. Negeri Chien adalah yang terkuat dan menjadi sumber ancaman bagi ke-enam negara lainnya. Pada masa pemerintahan raja Cho Hway Ong, kerajaan Cho mempunyai seorang pembesar yang bernama Khut Gwan (Qu Yuen) yang sangat jujur, loyal, dedikatif dan mampu mempersatukan enam kerajaan untuk menghadapi Chien. Namun akibat hasutan para pejabat yang iri kepadanya, akhirnya raja Cho tidak lagi mempercayai nasihat Khut Gwan. Ini berakibat sangat mahal. Ikatan persahabatan enam kerajaan menjadi mengendor.


Suatu saat Cho Hway Ong bahkan tidak memperdulikan nasihat Khut Gwan (Qu Yuen) untuk tidak memenuhi undangan raja Chien. Sang raja tetap memaksa hadir, yang kemudian benar berakibat buruk baginya. Ia ditawan oleh Chien sampai akhir hayatnya. Sang putra mahkota kemudian naik tahta menggantikan ayahnya dan kembali mempercayai Khut Gwan (Qu Yuen) sebagai penasihatnya. Berkat kelihaian Khut Gwan, secara bertahap aliansi enam negara tersebut kembali menguat.


Namun kembali Khut Gwan (Qu Yuen) difitnah oleh para penghasut, dan kembali sang raja mempercayai hasutan tersebut. Akibat yang diterima Khut Gwan (Qu Yuen) kali ini justru lebih parah. Ia tidak saja dipecat, tetapi juga dibuang ke daerah danau Tong Ting. Untuk mengobati rasa kecewa dan kepedihannya, Khut Gwan (Qu Yuen) banyak menulis puisi yang menggambarkan kondisi saat itu dan rasa cintanya yang demikian mendalam akan nasib bangsa dan negaranya yang sedang diambang keruntuhan.


Apa yang ditakutkan Khut Gwan (Qu Yuen) nyata terbukti. Chien berhasil melindas ke enam negara, termasuk negara Cho, tanah tumpah darahnya. Kenyataan ini benar-benar tidak bisa diterima Khut Gwan (Qu Yuen) yang sudah berusia 62 tahun. Sendirian ia tidak mungkin melawan. Namun ia pun tidak sanggup menikmati hidup sementara negara dan leluhurnya hancur berantakan dilindas oleh kekuatan Chien. Khut Gwan (Qu Yuen) pun lantas mengambil sikap. Ia bunuh diri pada tahun 278 sM, dengan menenggelamkan diri ke sungai Bik Lo, tepat pada saat perayaan Twan Yang.


Selintas tindakan ini bisa dianggap pengecut. Namun apa yang dilakukan Khut Gwan (Qu Yuen) tidaklah serendah dugaan itu. Sebelum terjun ke sungai, terlebih dahulu ia telah membacakan puisinya yang patriotis untuk menggelorakan semangat rakyat yang mendengarnya. Di sini tindakan bunuh dirinya justru menjadi klimaks bagi protes dan gelora patriotisme yang ia kumandangkan sebelumnya. Tindakan ini di kelak kemudian hari ternyata terbukti menjadi semacam prasasti sejarah tentang patriotisme, rasa cinta tanah air yang mendalam, kesetiaan dan moralitas yang perlu dimiliki mereka yang menjadi pimpinan atau bahkan warga bangsa.


Ketika melihat Khut Gwan (Qu Yuen) terjun ke sungai, penduduk yang melihatnya merasa simpati dan segera beramai-ramai mencoba menyelamatkan nyawanya, atau setidaknya bisa menemukan jenazahnya. Namun Khut Gwan (Qu Yuen) raib di telan air. Pencarian yang menggunakan perahu itu, tak berhasil menemukan jenazahnya.


Waktu berlalu dan tibalah Twan Yang kedua terhitung sejak Khut Gwan (Qu Yuen) menerjunkan diri ke sungai. Para sahabat dan penduduk sekitar, beramai-ramai mengirimkan makanan yang dimasukkan ke dalam bambu ke dalam sungai. Ini adalah sebuah ritual untuk mengenang dan menghormati Khut Gwan, yang dipercaya telah kembali ke haribaan Tian. Namun 338 tahun kemudian seorang penduduk bernama Au Hue, ‘bertemu’ orang yang mengaku dirinya sebagai Sam Li Tai Hu atau Khut Gwan. Pada saat itu Au Hue diberi tahu bahwa makanan yang mereka kirim tidak pernah sampai ke tujuan, karena dimakan oleh naga dan ikan yang hidup di sungai. Disarankan agar sebelum dilempar ke sungai, sebaiknya makanan itu dibungkus terlebih dahulu dengan dedaunan yang mempunyai permukaan kasar dan diikat dengan sutera. Inilah awal sejarah dari sebuah makanan yang kini kita kenal sebagai kue Cang atau Bacang.


Dengan adanya peristiwa Khut Gwan (Qu Yuen) yang heroik, makna Twan Yang mengalami pengkayaan, dengan tambahan nilai moralitas : kecintaan, kesetiaan dan tanggung jawab pada tanah air, bangsa dan negara. Khut Gwan (Qu Yuen) yang bisa saja hidup tenang, merasa tidak layak mendapatkan kenyamanan itu bagi dirinya sendiri.


MAKNA TWAN YANG BAGI UMAT KHONGHUCU

Menjadi jelas di sini bahwa Twan Yang mempunyai makna agamis bagi umat Khonghucu. Di tengah hari, tepatnya pada jam 11.00-13.00, di kala sinar matahari sedang terik-teriknya, dan matahari sedang berada di titik terdekat dengan bumi belahan Utara, adalah saat yang tepat bagi umat Khonghucu untuk bersembahyang mengucap syukur atas karunia yang telah diberikan Tian kepada umat manusia. Ucapkan syukur itu perlu dilakukan setiap saat, terutama ketika kita sedang mendapatkan limpahan karunia Tian Yang Maha Esa. Sebagai umat Khonghucu, kita hanya diperbolehkan memohon pengampunan dari Tian, namun hendaknya hubungan kita dengan Tian tidak dilakukan hanya pada saat sedang mengalami kesusahan belaka dan sedang membutuhkan pertolongan-Nya.


Bersembahyang di kala matahari sedang tegak lurus menyinari bumi, juga mengandung multi-makna. Di satu sisi sebagai perwujudan tekad untuk hidup lurus selaras Firman Tian, tegak lurus dan bersih cemerlang seperti sinar matahari di musim panas, dan di sisi lain siap untuk menerima limpahan kasih Tian yang berkelimpahan, secemerlang sinar mentari di saat Twan Yang.


Makna agamis lain adalah agar kita sebagai umat selalu diingatkan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari semesta alam, dan manusia tidak saja wajib menjaga kelestarian dan keseimbangan alam, melainkan juga harus mengenal fenomena alam seperti yang diisyaratkan dalam salah satu sabda Nabi Khongcu.



MAKNA TWAN YANG BAGI WARGA BANGSA

Keteladanan Khut Gwan (Qu Yuen) yang rela mengorbankan hidupnya sebagai perwujudan cintanya yang amat mendalam akan nasib bangsa dan negaranya, kiranya perlu dijadikan contoh bagi siapa saja yang mengaku dirinya sebagai warga bangsa, apalagi bagi mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang pemimpin.


Ketika negaranya sedang menghadapi bahaya, dengan berani dan penuh cinta ia memberi nasihat yang jujur kepada pimpinannya. Risiko diabaikan, disingkirkan, atau bahkan dibuang tidaklah membuatnya berubah haluan, meski sebelumnya pernah mengalami nasib yang pahit dan tidak dipedulikan pimpinannya. Ketika sudah dibuang dan dikecewakan pimpinannya, rasa cintanya terhadap negaranya tidaklah luntur. Ia tetap memikirkan yang terbaik bagi negaranya sampai detik terakhir. Pengorbanan hidupnya pun, tidaklah sia-sia dan belakangan terbukti menjadi salah satu prasasti bagi semangat patriotisme dan moralitas berbangsa.


Meski harus hidup terlunta-lunta, terbuang dan bahkan mati tanpa meninggalkan jasad, namun sejarah tetap mencatatnya sebagai seorang yang perlu diteladani oleh generasi sesudahnya. Bandingkan dengan kehidupan sang raja Cho sendiri ? Meski kedudukan formalnya lebih tinggi, namun dalam catatan sejarah nama Khut Gwan (Qu Yuen) tetap dikenang dan mendapat penghargaan yang jauh berlebih.


MAKNA TWAN YANG BAGI KEMANUSIAAN

Sejak peristiwa Khut Gwan, perayaan Twan Yang dikenal juga dengan nama Pe Cun (Pai Cuan) , yang berarti ‘mendayung perahu’. Istilah ini berawal dari banyaknya perahu yang hilir mudik untuk mencari Khut Gwan (Qu Yuen) atau jenazahnya, ketika sang teladan menenggelamkan diri di sunga Bik Lo. Sejak saat itu kegiatan mendayung atau berlomba perahu di kala Twan Yang menjadi tradisi yang terus berkembang.


Kalau dikaji secara lebih mendalam, sebenarnya bisa kita simpulkan bahwa upaya pencarian Khut Gwan (Qu Yuen) pada saat Twan Yang adalah keliru kalau ditafsirkan secara tersurat. Makna yang terkandung sebenarnya adalah makna simbolis. Bukan Khut Gwan (Qu Yuen) atau jenazahnya yang kita cari lewat perlombaan mendayung perahu, namun sebenarnya kita dituntut untuk berlomba-lomba mencari kembali nilai-nilai moralitas yang diteladankan Khut Gwan. Sebenarnya makna perlombaan itu harus ditafsirkan sebagai perlombaan mencari nilai-nilai moral. Perlombaan untuk menanam Kebajikan dalam setiap tingkah laku kita sebagai manusia.


Khut Gwan (Qu Yuen) secara badani memang telah mati ribuan tahun yang lalu. Namun Khut Gwan (Qu Yuen) secara spirit dan nilai-nilai tetap hidup dan perlu terus dihidupkan. Ini yang seharusnya menjadi target atau tujuan kemanusiaan. Di samping hidup lurus selaras Firman Tian, selalu bersyukur dan mawas diri, bersahabat dengan alam, juga wajib menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.




· MAKNA TWAN YANG DI MASA TRANSISI MENUJU REFORMASI


Sebagai salah satu hari suci atau bagian dari tradisi keagamaan Khonghucu, Twan Yang atau Pe Cun (Pai Cuan) pernah marak dan banyak dirayakan umat beberapa puluh tahun yang lalu. Kemudian seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai meminggirkan agama Khonghucu selama lebih dari dua dasawarsa, perayaan hari suci keagamaan Khonghucu pun seakan lenyap menjadi bagian sejarah. Twan Yang atau Pe Cun (Pai Cuan) juga ikut lenyap tinggal menjadi kenangan belaka. Sebaliknya tradisi makan kue Cang yang sebelumnya praktis hanya dilakukan pada saat Pe Cun (Pai Cuan) , justru menjadi kue atau makanan yang bisa dijumpai setiap hari. Makna ritual kue Cang hilang dan berganti menjadi komoditi. Ini sebuah kenyataan yang tidak bisa dibendung di tengah arus konsumerisasi dan globalisasi.


Ada fenomena menarik yang perlu kita kaji dari penurunan nilai ritual kue Cang di satu sisi dan memasyarakatnya kue Cang sebagai konsumsi ‘sehari-hari’. Bila dipandang dari kacamata pesimis, bisa dikatakan sebagai erosi makna ritual. Namun bila dikaji dari kacamata sosial dan budaya, maka bisa disimpulkan sebagai lambang dari suksesnya proses sosialisasi, alkulturasi, dan sekaligus mampu membuka lapangan usaha baru yang bebas dari sekat-sekat primordial. Fenomena kue Cang sudah hampir mendekati alkulturasi lontong Cap Go Meh, yang sebenarnya bisa dikatakan makanan asli Indonesia. Bukanlah suatu hal yang mustahil, bila suatu saat nanti akan diikuti dengan kue Keranjang, kue Bulan, dll.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari pelarangan tradisi keagamaan Khonghucu di satu sisi dan tersosialisasinya kue Cang di sisi lain ? Makna apa yang bisa kita simpulkan dari pudarnya perayaan Pe Cun (Pai Cuan) di satu sisi dan maraknya tradisi lomba perahu naga di sisi lain ? Kenyataan apa yang bisa kita simpulkan dari larangan terhadap segala sesuatu yang berbau Tionghoa di satu sisi dengan menjamurnya Chinese Restaurant di sisi lain ? Fenomena ini rasanya menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang sifatnya universal, seperti : seni, olahraga, makanan, lebih bisa diterima secara luas. Sementara yang bernuansa agama dan berkaitan dengan nilai-nilai – meski sebenarnya juga universal – lebih sulit diterima karena ada faktor lain yang kadang kala masih diterima dengan rasa curiga.


Memahami fenomena di atas, akan lebih baik bila kehidupan agama Khonghucu di Indonesia yang kembali mendapatkan tempat seharusnya seperti ditegaskan berkali-kali oleh Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, proses pemulihannya dapat dilakukan secara normal, wajar, alami, dan melibatkan unsur kebersamaan dalam masyarakat. Proses pemulihan itu akan lebih baik kalau kita bisa menjabarkan secara pas, tidak berlebihan, tentang berbagai fenomena yang berlatarbelakang keagamaan Khonghucu, seperti cerita di balik kue Keranjang, kue Bulan, lontong Cap Go Meh, barongsai, tradisi lomba perahu Pe Cun (Pai Cuan) , sembahyang ronde, dsb.


Bila kita mampu menjabarkan berbagai hal di atas dengan wajar dan tidak terasa ingin meng-klaim sebagai milik sendiri, dan bisa melakukan alkulturasi, suatu saat akan tercipta satu sikap saling percaya, saling menghormati dan bahkan saling memiliki yang kental. Bila kondisi ini dapat terwujud, niscaya keberadaan agama Khonghucu tidak hanya bisa diterima secara legal formal, tapi yang jauh lebih penting bisa diterima secara alami, wajar dan mengakar pada setiap insan Indonesia yang menghargai pluralitas. Cara ini akan semakin kuat mengakar seandainya berbagai acara keagamaan yang ada juga bisa dijadikan tradisi yang mengundang minat orang untuk menonton, berekreasi, tanpa merasa dijejali keyakinan baru. Secara ringkas acara semacam itu perlu dikemas sedemikian rupa sehingga ke luar bernada bersahabat dan rekreatif, sementara ke dalam mampu memberikan jabaran dan pondasi baru bagi keimanan kita kepada Tian.


Mekanisme lain yang lebih baik adalah bila kita mampu mengambil, memahami dan menjabarkan nilai moral yang penuh keteladanan dari tokoh panutan agama Khonghucu, termasuk Nabi Khongcu, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bertanah air. Perlu diingat bahwa belajar menurut Khonghucu bukan sekedar membaca atau menghafal, tetapi yang lebih penting adalah mengamalkannya.


Akhirnya kita berharap agar momentum Twan Yang kali ini tidak saja menjadi salah satu tonggak penting bagi pemulihan kehidupan keagamaan Khonghucu di Indonesia, melainkan juga bisa menjadi prasasti bagi kembalinya moralitas Khonghucu yang sebenarnya, di dalam jiwa, sanubari dan setiap langkah kita yang mengaku sebagai umat Khonghucu yang Satya dan Tepasalira


Budi S Tanuwibowo

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More