free counters

Friday, August 5, 2011

Sembahyang Kepada Leluhur dalam Budaya Tradisi Konfusianitas

Oleh: WS. CH. Budhi, S.Pribadi. SP

Zaman dahulu tanggal 15 Bulan ke-1 (Shang-Yuan) tanggal 15 Bulan ke-7 (Zhong-Yuan), dan tanggal 15 Bulan Ke-10 (Xia-Yuan) dalam kalender Khonghucu/Kongzili, yang di Indonesia disebutkan dengan Kalender Imlek/Yinli, disebut ''Tiga Bulan Purnama/San-Yuan'', sebagai hari peribadahan/persembahyangan kepada Bumi/She. Dan khusus tanggal 15 Bulan ke-7 Kongzili atau Chit-Gwee Cap-Go Imlek, yang bertepatan jatuh pada tanggal 24 Agustus 2010, adalah disebut ''Hari Sembahyang Leluhur/Zhong - Yuan - Jie''.

''Sembahyang Leluhur dipandang oleh para cendekiawan merupakan -Akar dari Agama. Dalam keyakinan konfusianitas, kedudukan ''keluarga'' merupakan tempat yang penting dalam budaya tradisionalnya. Dimana penghormatan dan permuliaan kepada seseorang leluhur, dipandang tidak hanya sebagai kewajiban terbesar, juga sebagai penghormatan termulia.

Di dalam ajaran Konfusian, hal kematian tidak dipandang sebagai suatu pengakhiran dari segala-galanya bagi hubungan keluarga, melainkan suatu kejadian dimana akan dilanjutkan, dan mempunyai pengaruh pada nasib keluarga/keturunannya.

Dan melalui sembahyang kepada leluhur tiap tanggal 15 Bulan ke-7 Kongzili/Chit Gwee Cap - Go Imlek. Dimana yang telah meninggal dunia dan keluarga yang masih hidup, diyakini dapat menyatu kembali lewat pemberian dukungan/oleh keluarga/keturunan yang masih hidup dengan sesaji persembahan yang berupa kebiasaan dikala leluhur masih hidup akan menerima berkah di dalam kehidupan, yang diyakini, bahwa leluhur yang agung di alam baka berdampingan dengan Shangdi, Tuhan Yang Maha Besar di tempat yang Maha Tinggi. Dalam adat istiadat pada masa Dinasti Shang dan Zhou, sebagai kepercayaan, bahwa roh leluhur yang agung disembahyangi sebagai yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Besar (Shangdi).

Makna Sembahyang Leluhur

Di dalam Kitab Catatan Kesusilaan/Li-JI. Bab XXX/II. Ji-Li, Kitab Suci Ru-Khonghucu (Ru-Jiao - Jing - Shu), tersurat: ''Semangat (Qi) itulah wujud berkembangnya nyawa (Shen), Badan Jasad (Bo). Itulah wujud berkembangnya Roh (Gui), berpadu harmonisnya roh dan nyawa (Gui-Shen) itulah tujuan tertinggi ajaran agama.

Dan semuanya yang dilahirkan pasti mengalami kematian, yang mengalami kematian pasti pulang ke tanah, inilah yang berkaitan dengan Roh (Gui), tulang dan daging melapuk dibawah, yang bersifat negatif (Yin) itu raib menjadi tanah dipadang belantara, tetapi Semangat (Qi) berkembang memancar diatas cerah gemilang diiringi bau asap dan bau dupa yang semerbak mengharumkan, inilah sari dari beratus zat, perwujudan dari pada -nyawa (Shen), maa dengan dasar sari beratus zat ini, ditegakkan hukum yang sempurna firman gemilang tentang ''Roh dan Nyawa'' bagi kaum berambut hitam menjadikan beratus masyarakat memuliakan berlaksa rakyat tunduk.

Esiensi Sembahyang Leluhur

Dalam Kitab Suci 'Sabda Suci/Lun-Yu. Bab I: 29 tertulis: ''Kebajikan rakyat biasa akan mencapai kesempurnaannya, bila yang telah meninggal dunia dipelihara dengan hati-hati, dan memperingati kepada leluhur yang telah jauh''. Ayat ini menegaskan, bahwa sembahyang kepada leluhur, akan menjadikan sempurnanya kebajikan moral.

Sembahyang kepada leluhur tidak hanya dilakukan oleh kaum konfusian dari semua generasi, tetapi juga menarik perhatian yang sangat mendalam sebagai kelestarian budaya ibadah kuno bagi masyarakat tradisional. Namun bagi Konfusion, sembahyang kepada leluhur tanggal Chit-Gwee Cap Go Imlek dan tanggal 29 Chit-Gwee Imlek, yang dikenal dengan Hari Sembahyang Arwah Umum/Jing - He - Bing/King - Hoo Ping, adalah sangat penting, karena akan menjadikan keturunannya suatu ikatan yang bersifat kerohanian dan kepercayaan spiritual, serta memungkinkan kelangsungan mata rantai hubungan antara leluhur dan keturunan keluarga. Hal ini diyakini, bahwa semua wujud berasal dari Tuhan, dan manusia berasal dari leluhurnya/tidak melupakan asal-usul manusia.

Sembahyang kepada leluhur, harus dengan semangat cita berbakti, yang merupakan sikap konfusion, sebagai merajut hubungan keabadian. Dalam Kitab Sanjak/Shi-Jing menyatakan: ''Bahwa seorang yang berbakti akan lakukan sembahyang kepada leluhurnya secara terus menerus, dan bagi anak yang berbaktioleh leluhurnya akan dianugerahi keselamatan dan kesejahteraan.'' Pelaksanaan sembahyang Konfusian kepada leluhur dan semangat cita berbakti kepada orang tua, adalah menunjukkan pemahaman konfusion mengenai - takdir manusia, dimana yang telah meninggal dunia berasal dari keluarga, dan 'keluarga' merupakan sebagai sumber kehidupan dalam hubungan keabadian, dalam pembinaan diri dan mawas diri untuk senantiasa menempuh jalan suci. Dalam kehidupan keluarga adalah bagaikan mata rantai yang berkesinambungan dalam kelestarian budaya tradisi/adat-istiadat.

Ajaran konfusion menyampaikan, bahwa melalui pelaksanaan sembahyang leluhur pada waktunya, sebagai kewajiban hidupnya, merupakan falsafah adiluhung, dimana dalam keluarga yang muda akan memperoleh suatu perasaan tanggung jawab moral, dan bagi yang tua akan memperoleh kehormatan yang telah meninggal dunia akan hidup di dalam hati keturunannya, dan bagi yang baru dilahirkan, akan diberikan suatu misi. Untuk merajut ikatan keluarga dalam mata rantai keabadian, sehingga seorang individu akan hidup selama keluarganya berakhir, dan akan memperoleh suatu perasaan keabadian di tengah-tengah kehidupan duniawi.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More