Thursday, December 22, 2011
Wednesday, December 21, 2011
Contoh - Contoh Judul Skripsi (SI)
- Implementasi Fuzzy GA untuk Mengukur Pengaruh Perlakuan Temperatur terhadap Hasil Kerja & Fisiologi Pekerja
- Implementasi Penentuan Biaya Minimum Pengiriman Produksi Berbasis Graph dengan Pendekatan GA
- Pemilihan Investasi Mata Uang Asing menggunakan Metode Enumerasi Implisit dalam Ransel Masalah
- Sistem Informasi Penjualan dan Persediaan Produksi Sistem Rekomendasi Indeks Client Server Barang: Studi Kasus XXX
- Program Bantu Penilaian Prestasi Karyawan dengan Logika Kabur : Studi Kasus
- Perancangan Sistem Informasi Rencana Perbaikan Peralatan Non Rutin Berbasis Komputer untuk Unit Jasa Teknik di PT
- Sistem Informasi Layanan Konsumen pada Jaringan Lokal Berbasis Web : Studi Kasus di PT. XXX
- Sistem Informasi Turbo Motor `Promosi` Sistem Rekomendasi Indeks Web ASP
- Sistem Informasi untuk Manajemen Aset Budaya di XXX:
- Pengembangan Sistem Informasi Administrasi Jaringan Kabel di PT.
- Sistem Informasi Statistik Sekolah sebagai Acuan Mutu Pendidikan di Daerah
- Analisa Penerimaan Penerapan Teknik Audit
Thursday, December 15, 2011
Jumlah Domain .Com Kini Mencapai 91 Juta
Pernahkan anda menghitung seberapa banyak situs yang ada di seluruh dunia saat ini? Jika tahu jumlahnya, mungkin anda akan sedikit tercengang. Bayangkan saja, untuk domain .com saja, jumlahnya mencapai 91 juta domain yang terdaftar dan terus bertambah setiap harinya.
Dari data register yang ada, jumlah domain .com dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Namun meskipun menjadi domain yang paling populer, penambahan jumlahnya pada akhir-akhir ini mengalami penurunan.
Penurunan jumlah penambahan tersebut sepertinya sudah diperkirakan oleh banyak pihak. Dengan semakin banyaknya pilihan domain, orang tentunya akan melakukan berbagai pertimbangan untuk menentukan pilihannya.
Meskipun begitu, tetap saja jumlah domain .com masih yang terbanyak. Pada awal tahun 2000, jumlahnya hanya mencapai 21 juta. Namun jumlah tersebut membengkak hingga hampir tiga kali lipatnya pada 2005 yang mencapai 61 juta domain.
Semiotika Dan Fenomena Hiperealitas Nicholas "Gie" Saputra
Budaya-Tionghoa.Net| Juni 2005, kurang lebih 40 tahun sejak jaman So Hok Gie. Kini tokoh fenomenal itu hadir kembali dalam sebuah film berjudul ‘Gie? Bahkan di bulan ini pula sang pemeran utama bersama sutradara melakukan tour ke kampus-kampus dengan disponsori salah satu perusahaan rokok terkemuka di negeri ini. Sejauh pengetahuan saya; sejak momen kebangkitan film Indonesia (yang disebut-sebut ditandai dengan suksesnya film “Ada ada dengan Cinta?; baru kali ini ada film Indonesia bertema pahlawan. Tokoh yang diambilpun cukup radikal; yaitu So Hok Gie; tokoh yang mungkin tak sepopuler pahlawan revolusi, atau pahlawan Kemerdekaan.
Namun, sejauh cermatan saya, film ‘Gie?yang menceritakan mengenai So Hok Gie itu tak lebih dari ikon budaya kontemporer. Tak beda dengan ‘Ada apa dengan Cinta? ‘Eliana Eliana? ‘Jaelangkung? ‘Bangsal 13?dan sejenisnya. Pihak yang memproduksinya hanya mencari produk atau ikon yang punya positinioning dan diferensiasi berbeda agar lebih mudah memasuki pasar film yang agaknya mulai jenuh dengan tema roman dan horor. Kenapa saya bisa berpandangan begitu? Setidaknya ada beberapa poin yang membuat saya melihat bahwa film ini lebih merupakan budaya kontemporer ketimbang upaya menyampaikan pesan mengenai perjuangan seorang dari seseorang bernama So Hok Gie.
Pertama, saya mencermati pemilihan Nicholas Saputra sebagai So Hok Gie. Saya tak yakin ini kesalahan casting. Tapi kemudian muncul pertanyaan, apa iya sih enggak ada orang yang wajahnya lebih mirip atau mendekati wajah So Hok Gie? Saya melihat ada nilai yang hilang (atau justru dihilangkan?). Nicholas Saputra sama sekali tidak merepresentasikan wajah seorang dari etnis Cina, sangat beda dari wajah asli Gie yang khas etnis Cina. Ini nilai penting yang hilang. Saya pikir, di jaman ini, di mana tertanam kebencian terselubung pada etnis Cina karena pelekatannya pada predikat koruptor, wajah Gie yang Cina setidaknya akan memberi suatu pandangan lain pada etnis itu, bahwa ada orang dari etnis Cina yang juga mau berjuang untuk bangsa ini. Saya justru melihat bahwa film ‘Gie?ini juga mengandung pengaburan identitas Gie untuk tujuan komersial.
Secara semiotis, ini bisa dijelaskan sebagai bertemunya penanda (signifier) dan petanda (signified). Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa dalam tanda selalu terkandung dua elemen, yatitu penanda dan petanda. konsep tanda sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebutnya penanda (signifier), yaitu aspek material dari sebuah tanda. Sisi kedua disebut petanda (signified), yang menjelaskan mengenai konsep mental.[2] Signified berasal dari konsep sedangkan signifier berasal dari gambaran akustik. Pemilihan penanda Nicholas Saputra sebagai So Hok Gie; jelas lebih menjual ketimbang menghadirkan pemeran yang mirip dengan wajah Gie. Bahkan orang seolah sudah diajarkan untk tidak kritis lagi ketika mendengar nama Cina “So Hok Gie?lalu melihat pemilik namanya berwajah seperti Nicholas Saputra.
Poin kedua, Situasi pengaburan identitas Gie ini, diperparah dengan terbitnya ‘Buku harian So Hok Gie?yang cover depannya wajah Nicholas Saputra. Lama-lama mungkin orang akan melupakan wajah Cina Gie dan lebih mengingat wajah ganteng Nicholas Saputra sebagai wajah Gie. Ini merupakan peralihan suatu petanda (makna) dari penanda (ikon) satu ke penanda (ikon) lain. Menarik, dalam kapitalisme dunia perfileman, bahkan nilai kepahlawananpun sudah menjadi banal dan kehilangan esensi pentingnya.
Fenomema ini sama saja dengan ikon Lara Croft yang diidentikkan dengan Angelina Jolie, sehingga kemudian orang lebih mengenali Lara sebagai Jolie dan Jolie sebagai Lara. Dalam dunia Pop Culture ini wajar, imaji memang perlu agar suatu produk dapat eksis; hanya sayang, kenapa justru tokoh sejarah yang semestinya bernilai yang dijadikan sebatas komoditas. Lebih parah lagi ketika muncul protes mengenai penempatan wajah Nicholas pada cover, Lantas Riri Reza beralasan bahwa karakter Gie memang lebih suka di belakang. Ya, karakter ‘Gie?(yang Cina itu) memang selalu di belakang. Terlepas dari dia memang suka di belakang atau tidak, tokoh sepertinya memang selalu [berusaha] ditempatkan di belakang oleh kekuasaan. Simbolisasi ini berulang secara jelas pada fenomena cover itu. Dalam konteks kapitalisme, wajah Nicholas memang lebih menjual ketimbang wajah Gie, apalagi jika dikaitkan dengan promo filmnya.
Poin ketiga, tour ke kampus-kampus itu. Sepanjang pengetahuan saya (semoga saya salah, setidaknya data itu yang saya lihat di Surabaya), selain pemeran dan produsernya, tak menyertakan tokoh yang signifikan dengan kiprah So Hok Gie di masanya. Lalu, mereka mengadakan diskusi dengan mahasiswa. Diskusi yang seolah dikemas dalam wacana So Hok Gie. Padahal bisa jadi mereka yang datang lebih mengagumi penampilan menarik Nicholas Saputra ketimbang kiprah tokoh bernama So Hok Gie.
Ini adalah nilai-nilai kepahlawanan yang dikemas dalam fetishisme. Sebuah relasi metaforis yang memutuskan komoditi dari asalnya. Orang (mungkin kebanyakan perempuan yang terpesona oleh Nicholas) mengagumi Gie hanya sebatas pada sosok menarik Nicholas dan terputus dari kiprah Gie. Ini adalah suatu fenomena terperangkapnya konsumen dalam kode-kode objek yang dikodifikasi secara sistematis melalui sistem kapitalisme. Ini adalah hal wajar dalam kapitalisme karena struktur tanda adalah jantung dari komoditi yang akan menentukan eksisnya komoditi di arena pasar. Tokoh ‘Gie?yang ada dalam film ini, memiliki apa yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu sebagai modal simbolik untuk eksis di ‘arena bertarungnya?yaitu kancah industri film. Modal simbolik itu terletak pada Nicholas Saputra.
Refleksi
Fenomena Nicholas ‘Gie?Saputra ini adalah fenomena hiperealitas, di mana penanda satu membawa pada penanda lain. So Hok Gie berubah menjadi komoditas ketika dia dilekatkan pada Nicholas Saputra. Bahkan petanda yang merujuk pada makna herois pun ikut melekat pada Nicholas Saputra. Pada akhirnya, orang mungkin lebih mengingat wajah Nicholas Saputra sebagai sosok yang lekat dengan heroisme Gie. Saya pikir ini sangat masuk akal karena dalam peran sebagai Rangga, sosok anak muda SMA yang radikal; Nicholas juga tampak memerankan dengan baik, sehingga sosok ini juga menjadi salah satu idealisasi dalam budaya kontemporer. Dalam analisis saya, ketika memilih orang untuk memerankan So Hok Gie, sutradara mempertimbangkan citra radikal yang telah terbangun pada diri Nicholas melalui sosok Rangga; yang lantas justru mengorbankan salah satu nilai esensial dari seorang So Hok Gie.
Saya tak mengatakan bahwa film ini sepenuhnya tak berguna. Ada banyak sisi positif lain, selain memajukan perfileman Indonesia, film ini juga meramaikan kembali bioskop dengan film-film negeri sendiri (apalagi ditunjang dengan sejumlah gimmick pemasaran), juga setidaknya menyampaikan sekelumit kisah seorang tokoh bernama So Hok Gie. Setidaknya tokoh fenomenal itu tak lantas terlupakan. Namun, tetap saja ada yang mengganjal di hati. Saya jadi berpikir, kalau memang Gie punya wajah seperti Nicholas, mungkin dia tak akan jadi aktivis. Aku pikir wajahnya cukup ganteng untuk bersaing dengan bintang film di jaman itu, seperti Sophan Sophiaan, Robby Sugara, Roy Marten, Rano Karno atau bintang film pria Indonesia di era 1960-1970-an. Dia juga pasti akan kesulitan menjalankan pidato-pidato perjuangannya karena akan banyak perempuan yang histeris dan berusaha meminta tandatangannya.
Ada cermatan lain?
[1] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya
[2] Paul Cobley dan Litza Jansz; (2002); Mengenal Semiotika ?For Beginners; saduran Ciptadi Sukono; Bandung : Mizan; hal. 10-11
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 14404
|
Pertama, saya mencermati pemilihan Nicholas Saputra sebagai So Hok Gie. Saya tak yakin ini kesalahan casting. Tapi kemudian muncul pertanyaan, apa iya sih enggak ada orang yang wajahnya lebih mirip atau mendekati wajah So Hok Gie? Saya melihat ada nilai yang hilang (atau justru dihilangkan?). Nicholas Saputra sama sekali tidak merepresentasikan wajah seorang dari etnis Cina, sangat beda dari wajah asli Gie yang khas etnis Cina. Ini nilai penting yang hilang. Saya pikir, di jaman ini, di mana tertanam kebencian terselubung pada etnis Cina karena pelekatannya pada predikat koruptor, wajah Gie yang Cina setidaknya akan memberi suatu pandangan lain pada etnis itu, bahwa ada orang dari etnis Cina yang juga mau berjuang untuk bangsa ini. Saya justru melihat bahwa film ‘Gie?ini juga mengandung pengaburan identitas Gie untuk tujuan komersial.
Secara semiotis, ini bisa dijelaskan sebagai bertemunya penanda (signifier) dan petanda (signified). Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa dalam tanda selalu terkandung dua elemen, yatitu penanda dan petanda. konsep tanda sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebutnya penanda (signifier), yaitu aspek material dari sebuah tanda. Sisi kedua disebut petanda (signified), yang menjelaskan mengenai konsep mental.[2] Signified berasal dari konsep sedangkan signifier berasal dari gambaran akustik. Pemilihan penanda Nicholas Saputra sebagai So Hok Gie; jelas lebih menjual ketimbang menghadirkan pemeran yang mirip dengan wajah Gie. Bahkan orang seolah sudah diajarkan untk tidak kritis lagi ketika mendengar nama Cina “So Hok Gie?lalu melihat pemilik namanya berwajah seperti Nicholas Saputra.
Poin kedua, Situasi pengaburan identitas Gie ini, diperparah dengan terbitnya ‘Buku harian So Hok Gie?yang cover depannya wajah Nicholas Saputra. Lama-lama mungkin orang akan melupakan wajah Cina Gie dan lebih mengingat wajah ganteng Nicholas Saputra sebagai wajah Gie. Ini merupakan peralihan suatu petanda (makna) dari penanda (ikon) satu ke penanda (ikon) lain. Menarik, dalam kapitalisme dunia perfileman, bahkan nilai kepahlawananpun sudah menjadi banal dan kehilangan esensi pentingnya.
Fenomema ini sama saja dengan ikon Lara Croft yang diidentikkan dengan Angelina Jolie, sehingga kemudian orang lebih mengenali Lara sebagai Jolie dan Jolie sebagai Lara. Dalam dunia Pop Culture ini wajar, imaji memang perlu agar suatu produk dapat eksis; hanya sayang, kenapa justru tokoh sejarah yang semestinya bernilai yang dijadikan sebatas komoditas. Lebih parah lagi ketika muncul protes mengenai penempatan wajah Nicholas pada cover, Lantas Riri Reza beralasan bahwa karakter Gie memang lebih suka di belakang. Ya, karakter ‘Gie?(yang Cina itu) memang selalu di belakang. Terlepas dari dia memang suka di belakang atau tidak, tokoh sepertinya memang selalu [berusaha] ditempatkan di belakang oleh kekuasaan. Simbolisasi ini berulang secara jelas pada fenomena cover itu. Dalam konteks kapitalisme, wajah Nicholas memang lebih menjual ketimbang wajah Gie, apalagi jika dikaitkan dengan promo filmnya.
Poin ketiga, tour ke kampus-kampus itu. Sepanjang pengetahuan saya (semoga saya salah, setidaknya data itu yang saya lihat di Surabaya), selain pemeran dan produsernya, tak menyertakan tokoh yang signifikan dengan kiprah So Hok Gie di masanya. Lalu, mereka mengadakan diskusi dengan mahasiswa. Diskusi yang seolah dikemas dalam wacana So Hok Gie. Padahal bisa jadi mereka yang datang lebih mengagumi penampilan menarik Nicholas Saputra ketimbang kiprah tokoh bernama So Hok Gie.
Ini adalah nilai-nilai kepahlawanan yang dikemas dalam fetishisme. Sebuah relasi metaforis yang memutuskan komoditi dari asalnya. Orang (mungkin kebanyakan perempuan yang terpesona oleh Nicholas) mengagumi Gie hanya sebatas pada sosok menarik Nicholas dan terputus dari kiprah Gie. Ini adalah suatu fenomena terperangkapnya konsumen dalam kode-kode objek yang dikodifikasi secara sistematis melalui sistem kapitalisme. Ini adalah hal wajar dalam kapitalisme karena struktur tanda adalah jantung dari komoditi yang akan menentukan eksisnya komoditi di arena pasar. Tokoh ‘Gie?yang ada dalam film ini, memiliki apa yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu sebagai modal simbolik untuk eksis di ‘arena bertarungnya?yaitu kancah industri film. Modal simbolik itu terletak pada Nicholas Saputra.
Refleksi
Fenomena Nicholas ‘Gie?Saputra ini adalah fenomena hiperealitas, di mana penanda satu membawa pada penanda lain. So Hok Gie berubah menjadi komoditas ketika dia dilekatkan pada Nicholas Saputra. Bahkan petanda yang merujuk pada makna herois pun ikut melekat pada Nicholas Saputra. Pada akhirnya, orang mungkin lebih mengingat wajah Nicholas Saputra sebagai sosok yang lekat dengan heroisme Gie. Saya pikir ini sangat masuk akal karena dalam peran sebagai Rangga, sosok anak muda SMA yang radikal; Nicholas juga tampak memerankan dengan baik, sehingga sosok ini juga menjadi salah satu idealisasi dalam budaya kontemporer. Dalam analisis saya, ketika memilih orang untuk memerankan So Hok Gie, sutradara mempertimbangkan citra radikal yang telah terbangun pada diri Nicholas melalui sosok Rangga; yang lantas justru mengorbankan salah satu nilai esensial dari seorang So Hok Gie.
Saya tak mengatakan bahwa film ini sepenuhnya tak berguna. Ada banyak sisi positif lain, selain memajukan perfileman Indonesia, film ini juga meramaikan kembali bioskop dengan film-film negeri sendiri (apalagi ditunjang dengan sejumlah gimmick pemasaran), juga setidaknya menyampaikan sekelumit kisah seorang tokoh bernama So Hok Gie. Setidaknya tokoh fenomenal itu tak lantas terlupakan. Namun, tetap saja ada yang mengganjal di hati. Saya jadi berpikir, kalau memang Gie punya wajah seperti Nicholas, mungkin dia tak akan jadi aktivis. Aku pikir wajahnya cukup ganteng untuk bersaing dengan bintang film di jaman itu, seperti Sophan Sophiaan, Robby Sugara, Roy Marten, Rano Karno atau bintang film pria Indonesia di era 1960-1970-an. Dia juga pasti akan kesulitan menjalankan pidato-pidato perjuangannya karena akan banyak perempuan yang histeris dan berusaha meminta tandatangannya.
Ada cermatan lain?
[1] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya
[2] Paul Cobley dan Litza Jansz; (2002); Mengenal Semiotika ?For Beginners; saduran Ciptadi Sukono; Bandung : Mizan; hal. 10-11
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 14404
Keong Sawah di Piring Kaleng...
KOMPAS.com – Inilah rumah makan Sunda yang benar-benar memberikan pengalaman berbeda. Bagaimana tidak, saat baru masuk saja, pengunjung harus menghadapi antrean panjang. Konon, antrean panjang ini tak kenal waktu. Entah itu di jam makan siang maupun di luar jam makan siang. Jangan tanya kondisinya saat akhir pekan. Penuh oleh masyarakat setempat maupun wisatawan.
Nama rumah makan tersebut adalah Nasi Bancakan, terletak di Jl. Trunojoyo No. 62, Bandung. Letaknya yang strategis juga keunikan konsep rumah makan ini, membuat tempat ini laris manis. Saat Kompas.com mampir, antrean mengular dari ujung terdalam sampai ke pintu.
Apa uniknya? Saat masuk, pengunjung tak perlu membuka buku menu maupun tak akan ada pelayan yang menghampiri Anda untuk menerima pesan Anda. Ya, Anda harus mengantre menuju meja panjang prasmanan. Di meja panjang itu, aneka lauk pauk tampak menggoda di mata.
Layaknya di sebuah kantin, ambilah piring sendiri. Kemudian seorang ibu akan menyediakan nasi yang Anda inginkan. Entah itu nasi liwet atau nasi timbel. Piring itu pun unik karena menggunakan piring kaleng yang biasa dipakai di zaman dahulu. Saat ini, piring kaleng semacam ini sudah jarang ditemukan.
Anda pun dapat memilih lauk yang Anda suka. Mulai dari babat, paru, dan sate telur puyuh. Lalu ayam, gepuk, cumi, gurame, pindang tongkol, peda, ikan mas, dan gabus.
Untuk sayuran, bisa mencoba aneka tumisan seperti tumis iwung, tumis genjer, dan tumis waluh. Ada pula teri kacang, buntik, dan ceos kacang. Masakan Sunda tentu belum lengkap dengan lalapan. Nah di sini pun tersedia aneka sayuran segar untuk lalapan yang bisa Anda ambil sendiri.
Aneka gorengan seperti tahu, tempe, sampai perkedel jagung jangan terlupakan. Lalu ada pula aneka pepes, lotek, serta beragam sambal. Anda bisa pilih sambal golodog, sambal oncom, dan sambal ceurik.
Beberapa lauk ini hanya sebagian dari yang ada di daftar menu. Total ada lebih dari 60 aneka lauk pauk yang ada di Nasi Bancakan. Makin unik, karena aneka jajanan manis yang cocok untuk hidangan penutup bisa Anda beli di sini. Ada lapak es goyang sampai harum manis. Masing-masing pedagang layaknya berjualan di pinggir jalan, hadir dengan gerobaknya sendiri-sendiri.
Selain piring dari kaleng, gelasnya pun dari kaleng. Teko-teko berisi teh tawar panas tersedia bagi para pengunjung. Pengunjung dapat mengmbilnya sendiri secara gratis. Salah satu yang perlu Anda coba adalah tutut atau keong sawah yang ditumis dengan bumbu kuning.
Menu pindang lauk sawah juga perlu Anda cicipi, menu ini termasuk menu favorit di Nasi Bancakan. Lalu untuk hidangan manis sebagai penutup, nikmati es goyang yang manis dengan balutan coklat cair.
Saat membayar, bersiaplah terkejut. Harganya sangat murah dan per porsi sebenarnya termasuk banyak. Seperti satu porsi tutut bisa dinikmati hingga 4 orang dan harganya hanya Rp 5.000. Sebagian besar harganya tak lebih mahal dari Rp 9.000 per menu per porsi.