Budaya-Tionghoa.Net| Juni 2005, kurang lebih 40 tahun sejak jaman So Hok Gie. Kini tokoh fenomenal itu hadir kembali dalam sebuah film berjudul ‘Gie? Bahkan di bulan ini pula sang pemeran utama bersama sutradara melakukan tour ke kampus-kampus dengan disponsori salah satu perusahaan rokok terkemuka di negeri ini. Sejauh pengetahuan saya; sejak momen kebangkitan film Indonesia (yang disebut-sebut ditandai dengan suksesnya film “Ada ada dengan Cinta?; baru kali ini ada film Indonesia bertema pahlawan. Tokoh yang diambilpun cukup radikal; yaitu So Hok Gie; tokoh yang mungkin tak sepopuler pahlawan revolusi, atau pahlawan Kemerdekaan.
|
Pertama, saya mencermati pemilihan Nicholas Saputra sebagai So Hok Gie. Saya tak yakin ini kesalahan casting. Tapi kemudian muncul pertanyaan, apa iya sih enggak ada orang yang wajahnya lebih mirip atau mendekati wajah So Hok Gie? Saya melihat ada nilai yang hilang (atau justru dihilangkan?). Nicholas Saputra sama sekali tidak merepresentasikan wajah seorang dari etnis Cina, sangat beda dari wajah asli Gie yang khas etnis Cina. Ini nilai penting yang hilang. Saya pikir, di jaman ini, di mana tertanam kebencian terselubung pada etnis Cina karena pelekatannya pada predikat koruptor, wajah Gie yang Cina setidaknya akan memberi suatu pandangan lain pada etnis itu, bahwa ada orang dari etnis Cina yang juga mau berjuang untuk bangsa ini. Saya justru melihat bahwa film ‘Gie?ini juga mengandung pengaburan identitas Gie untuk tujuan komersial.
Secara semiotis, ini bisa dijelaskan sebagai bertemunya penanda (signifier) dan petanda (signified). Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa dalam tanda selalu terkandung dua elemen, yatitu penanda dan petanda. konsep tanda sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebutnya penanda (signifier), yaitu aspek material dari sebuah tanda. Sisi kedua disebut petanda (signified), yang menjelaskan mengenai konsep mental.[2] Signified berasal dari konsep sedangkan signifier berasal dari gambaran akustik. Pemilihan penanda Nicholas Saputra sebagai So Hok Gie; jelas lebih menjual ketimbang menghadirkan pemeran yang mirip dengan wajah Gie. Bahkan orang seolah sudah diajarkan untk tidak kritis lagi ketika mendengar nama Cina “So Hok Gie?lalu melihat pemilik namanya berwajah seperti Nicholas Saputra.
Poin kedua, Situasi pengaburan identitas Gie ini, diperparah dengan terbitnya ‘Buku harian So Hok Gie?yang cover depannya wajah Nicholas Saputra. Lama-lama mungkin orang akan melupakan wajah Cina Gie dan lebih mengingat wajah ganteng Nicholas Saputra sebagai wajah Gie. Ini merupakan peralihan suatu petanda (makna) dari penanda (ikon) satu ke penanda (ikon) lain. Menarik, dalam kapitalisme dunia perfileman, bahkan nilai kepahlawananpun sudah menjadi banal dan kehilangan esensi pentingnya.
Fenomema ini sama saja dengan ikon Lara Croft yang diidentikkan dengan Angelina Jolie, sehingga kemudian orang lebih mengenali Lara sebagai Jolie dan Jolie sebagai Lara. Dalam dunia Pop Culture ini wajar, imaji memang perlu agar suatu produk dapat eksis; hanya sayang, kenapa justru tokoh sejarah yang semestinya bernilai yang dijadikan sebatas komoditas. Lebih parah lagi ketika muncul protes mengenai penempatan wajah Nicholas pada cover, Lantas Riri Reza beralasan bahwa karakter Gie memang lebih suka di belakang. Ya, karakter ‘Gie?(yang Cina itu) memang selalu di belakang. Terlepas dari dia memang suka di belakang atau tidak, tokoh sepertinya memang selalu [berusaha] ditempatkan di belakang oleh kekuasaan. Simbolisasi ini berulang secara jelas pada fenomena cover itu. Dalam konteks kapitalisme, wajah Nicholas memang lebih menjual ketimbang wajah Gie, apalagi jika dikaitkan dengan promo filmnya.
Poin ketiga, tour ke kampus-kampus itu. Sepanjang pengetahuan saya (semoga saya salah, setidaknya data itu yang saya lihat di Surabaya), selain pemeran dan produsernya, tak menyertakan tokoh yang signifikan dengan kiprah So Hok Gie di masanya. Lalu, mereka mengadakan diskusi dengan mahasiswa. Diskusi yang seolah dikemas dalam wacana So Hok Gie. Padahal bisa jadi mereka yang datang lebih mengagumi penampilan menarik Nicholas Saputra ketimbang kiprah tokoh bernama So Hok Gie.
Ini adalah nilai-nilai kepahlawanan yang dikemas dalam fetishisme. Sebuah relasi metaforis yang memutuskan komoditi dari asalnya. Orang (mungkin kebanyakan perempuan yang terpesona oleh Nicholas) mengagumi Gie hanya sebatas pada sosok menarik Nicholas dan terputus dari kiprah Gie. Ini adalah suatu fenomena terperangkapnya konsumen dalam kode-kode objek yang dikodifikasi secara sistematis melalui sistem kapitalisme. Ini adalah hal wajar dalam kapitalisme karena struktur tanda adalah jantung dari komoditi yang akan menentukan eksisnya komoditi di arena pasar. Tokoh ‘Gie?yang ada dalam film ini, memiliki apa yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu sebagai modal simbolik untuk eksis di ‘arena bertarungnya?yaitu kancah industri film. Modal simbolik itu terletak pada Nicholas Saputra.
Refleksi
Fenomena Nicholas ‘Gie?Saputra ini adalah fenomena hiperealitas, di mana penanda satu membawa pada penanda lain. So Hok Gie berubah menjadi komoditas ketika dia dilekatkan pada Nicholas Saputra. Bahkan petanda yang merujuk pada makna herois pun ikut melekat pada Nicholas Saputra. Pada akhirnya, orang mungkin lebih mengingat wajah Nicholas Saputra sebagai sosok yang lekat dengan heroisme Gie. Saya pikir ini sangat masuk akal karena dalam peran sebagai Rangga, sosok anak muda SMA yang radikal; Nicholas juga tampak memerankan dengan baik, sehingga sosok ini juga menjadi salah satu idealisasi dalam budaya kontemporer. Dalam analisis saya, ketika memilih orang untuk memerankan So Hok Gie, sutradara mempertimbangkan citra radikal yang telah terbangun pada diri Nicholas melalui sosok Rangga; yang lantas justru mengorbankan salah satu nilai esensial dari seorang So Hok Gie.
Saya tak mengatakan bahwa film ini sepenuhnya tak berguna. Ada banyak sisi positif lain, selain memajukan perfileman Indonesia, film ini juga meramaikan kembali bioskop dengan film-film negeri sendiri (apalagi ditunjang dengan sejumlah gimmick pemasaran), juga setidaknya menyampaikan sekelumit kisah seorang tokoh bernama So Hok Gie. Setidaknya tokoh fenomenal itu tak lantas terlupakan. Namun, tetap saja ada yang mengganjal di hati. Saya jadi berpikir, kalau memang Gie punya wajah seperti Nicholas, mungkin dia tak akan jadi aktivis. Aku pikir wajahnya cukup ganteng untuk bersaing dengan bintang film di jaman itu, seperti Sophan Sophiaan, Robby Sugara, Roy Marten, Rano Karno atau bintang film pria Indonesia di era 1960-1970-an. Dia juga pasti akan kesulitan menjalankan pidato-pidato perjuangannya karena akan banyak perempuan yang histeris dan berusaha meminta tandatangannya.
Ada cermatan lain?
[1] Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA)-Surabaya
[2] Paul Cobley dan Litza Jansz; (2002); Mengenal Semiotika ?For Beginners; saduran Ciptadi Sukono; Bandung : Mizan; hal. 10-11
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 14404
1 comments:
analisis yang sangat tajam mas, mengena pula. ya kurang lebih seperti itulah yg terjadi di era posmo- ini. budaya populer selalu menjadi komuditi tak tergantikan. tapi, di atas semua kekecewaan tadi, kita tidak boleh terjebak dalam nostalgia yg tidak bsa menumukan wadah. penempatan nicolas, memang boleh jadi sama sekali tidak merepresentasikan Gie sebagaimana mestinya. namun, barangkali, unsur penting lain dari sebatas paras adalah ide dan value yg hampir tanpa celah dimainkan oleh nico. kepribadian Gie mampu tersampaikan begitupun rentetan heroisme yg mendapatkan porsi memadai. ah ngomong apa saya ini haha
Post a Comment